![Logo desa](https://apauping.desa.id/assets/upload/images/desa/logo/1631004418517.png)
Kearifan Masyarakat Bahau Hulu
![](https://apauping.desa.id/assets/img/no-image.jpg)
Alam
diciptakan tidak hanya untuk makhluk hidup lain, manusia juga harus arif dalam
memanfaatkan alam dan menjaga keharmonisan diantara semua penghuni alam ini. hal
inilah yang selalu dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat adat Bahau Hulu
dengan suku Dayak Kenyah sebagai suku terbesar yang mendiami wilayah adatnya.
Desa
Apauping terletak di hulu sungai Bahau yang terjauh dan desa terakhir terletak
sebelum daerah perbatasan Serawak. Sebagian besar adalah Suku Kenyah Leppo Ke’
dan sebagian kecil lainnya adalah masyarakat Sab’ban. Asal usul keberadaan
masyarakat adat di wilayah ini menurut sejarah lisan mengatakan bahwa pada
awalnya orang-orang Dayak Kenyah hidup bersama di Apau Da’a yaitu sebuah
dataran tinggi antara Sungai Iwan dan Sungai Lurah. Karena perkembangan
pertumbuhan populasi dan telah berkurangnya tanah untuk bercocok tanam,
kelompok kenyah mulai memisahkan diri dan pindah ke arah yang berlainan. Kenya
Leppo Ke’ berpindah dari dataran tinggi Lurah (Long Bena, Long Apan) melewati
pegunungan menuju Sungai Beraa. Dari sana mereka berpindah ke Sungai Ngiyam
(Long Pengayan, Long Lat) dan Hulu Bahau ( Ka Buang, Apauping). Pemukiman
Nyibun berlokasi tidak jauh dari pemukiman Leppo Ke’ karena takut akan serangan
musuh sehingga mereka bergabung dalam pemukiman tersebut. Masyarakat Leppo Maut
bermukim di sepanjang Sungai Lurah dan berpindah ke Hulu Bahau melalui dataran
tinggi Nggeng dan Sungai Beraa.
Daerah Hulu
Bahau dikenal selama masa penjajahan Belanda sebagai Tana Lepo Maut atau The
Land of The Lepo Maut. Belanda pertama kali mencapai Hulu Bahau pada saat
misi pengamatan pada awal abad 20. Kawasan dan penduduk nya kemudian dicatat
oleh Jongjans selama ekspedisinya ke arah tersebut didaerah Apo Kayan pada
tahun 1917. Selain masyarakat adat Nyibun ada juga masyarakat adat Ngorek yang
bermukim di Hulu Bahau. Masyarakat Ngorek merupakan masyarakat yang telah
membangun kuburan batu yang diperkirakan berusia 300-350 tahun, mereka berindah
ke beberapa desa dibagian bawah (hilir) Sungai Kayan. Pada akhir tahun 1960 dan
1970-an, beberapa keluarga meninggalkan daerah hulu untuk bermukim di Sungai
Malinau didaerah Tanjung Selor dan beberapa desa di bagian hilir Sungai Kayan.
Pola
kehidupan masyarakat adat bahau Hulu tidak bisa dipisahkan dari alam sekitar
baik hutan, sungai, binatang, air dan sebagainya. Mereka hidup dari pertanian
dengan pola pertania berladang. masyarakat melakukan perladangan berpindah
dengan cara tradisional yaitu membiarkan alam untuk memupuk kembali lahan bekas
ladang yang disebut dengan jakau dengan cara meninggalkannya selama 10-15
tahun. Selain berladang, masyarakat adat juga berburu untuk memenuhi kebutuhan
protein hewaninya. Hewan yang diburu misalnya babi hutan (Ba’bui), Kijang, rusa
(payau), kera, dan sebagainya. Alat yang digunakan untuk berburu yaitu keleput
(Sumpit), bulo (tumbak), parang, jerat, sikep (jaring ikan), dan sebagainya.
Dalam berburu ba’bui (babi hutan), masyarakat adat memiliki cara berburu Ngeduk
(menirukan suara monyet) dan Mabang Satung (menunggu, mengintai, dan menghadang
rombongan ketika ingin menyeberang sungai). Ketika berburu rusa, masyrakat adat
menggunakan cara Mabang Sungan yaitu menunggu dengan cara mengintai rusa di
sumber air asin.
Kekayaan
Budaya masyarakat hulu bahau sangat beragam yaitu dalam bentuk tarian,
nyanyian, kerajinan tangan, ukiran dan sebagainya. Tarian yang populer misalnya
Tari Kancet Papatai atau tari perang, Tari Kencat Ledo atau Tari gong, Tari
kancet lasan, Tari Leleng, tari Hudoq Kita’. Produk kerajinan tangan seperti
Mandau (Pedang), anting gelang, Kalung manik-manik, Saung (Topi), taa (pakaian
wanita bermanik), besunung (pakaian laki-laki dari kulit domba), belanyat (tas
dari rotan dan bambu), dan lain-lain. Kearifan budaya masyarakat adat terhadap
alam sekitar tercermin dari seluruh sisi kehidupan dan tradisi mereka yang
mingilhami simbol-simbol, lukisan, ukiran, maupun pahatan yang menghiasi
peralatan budaya berupa simbol burung enggang, naga, harimau, pepohonan,
manusia, dan lain sebagainya.
Masyarakat adat Hulu Bahau yang dikaruniai alam mempesona dengan padang rumputnya dan hewan-hewan eksotis seperti banteng serta hasil hutan yang melimpah dan tidak anti terhadap program pembangunan dan modernisasi, namun mereka tetap menjaga kearifan budaya tradisional dengan menjaga kelestarian alam karena mereka meyakini alam akan bersikap ramah jika manusia juga memperlakukan alam secara ramah dan penuh kearifan.