Kearifan Masyarakat Bahau Hulu

Alam diciptakan tidak hanya untuk makhluk hidup lain, manusia juga harus arif dalam memanfaatkan alam dan menjaga keharmonisan diantara semua penghuni alam ini. hal inilah yang selalu dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat adat Bahau Hulu dengan suku Dayak Kenyah sebagai suku terbesar yang mendiami wilayah adatnya.

Desa Apauping terletak di hulu sungai Bahau yang terjauh dan desa terakhir terletak sebelum daerah perbatasan Serawak. Sebagian besar adalah Suku Kenyah Leppo Ke’ dan sebagian kecil lainnya adalah masyarakat Sab’ban. Asal usul keberadaan masyarakat adat di wilayah ini menurut sejarah lisan mengatakan bahwa pada awalnya orang-orang Dayak Kenyah hidup bersama di Apau Da’a yaitu sebuah dataran tinggi antara Sungai Iwan dan Sungai Lurah. Karena perkembangan pertumbuhan populasi dan telah berkurangnya tanah untuk bercocok tanam, kelompok kenyah mulai memisahkan diri dan pindah ke arah yang berlainan. Kenya Leppo Ke’ berpindah dari dataran tinggi Lurah (Long Bena, Long Apan) melewati pegunungan menuju Sungai Beraa. Dari sana mereka berpindah ke Sungai Ngiyam (Long Pengayan, Long Lat) dan Hulu Bahau ( Ka Buang, Apauping). Pemukiman Nyibun berlokasi tidak jauh dari pemukiman Leppo Ke’ karena takut akan serangan musuh sehingga mereka bergabung dalam pemukiman tersebut. Masyarakat Leppo Maut bermukim di sepanjang Sungai Lurah dan berpindah ke Hulu Bahau melalui dataran tinggi Nggeng dan Sungai Beraa.

Daerah Hulu Bahau dikenal selama masa penjajahan Belanda sebagai Tana Lepo Maut atau The Land of The Lepo Maut. Belanda pertama kali mencapai Hulu Bahau pada saat misi pengamatan pada awal abad 20. Kawasan dan penduduk nya kemudian dicatat oleh Jongjans selama ekspedisinya ke arah tersebut didaerah Apo Kayan pada tahun 1917. Selain masyarakat adat Nyibun ada juga masyarakat adat Ngorek yang bermukim di Hulu Bahau. Masyarakat Ngorek merupakan masyarakat yang telah membangun kuburan batu yang diperkirakan berusia 300-350 tahun, mereka berindah ke beberapa desa dibagian bawah (hilir) Sungai Kayan. Pada akhir tahun 1960 dan 1970-an, beberapa keluarga meninggalkan daerah hulu untuk bermukim di Sungai Malinau didaerah Tanjung Selor dan beberapa desa di bagian hilir Sungai Kayan.

Pola kehidupan masyarakat adat bahau Hulu tidak bisa dipisahkan dari alam sekitar baik hutan, sungai, binatang, air dan sebagainya. Mereka hidup dari pertanian dengan pola pertania berladang. masyarakat melakukan perladangan berpindah dengan cara tradisional yaitu membiarkan alam untuk memupuk kembali lahan bekas ladang yang disebut dengan jakau dengan cara meninggalkannya selama 10-15 tahun. Selain berladang, masyarakat adat juga berburu untuk memenuhi kebutuhan protein hewaninya. Hewan yang diburu misalnya babi hutan (Ba’bui), Kijang, rusa (payau), kera, dan sebagainya. Alat yang digunakan untuk berburu yaitu keleput (Sumpit), bulo (tumbak), parang, jerat, sikep (jaring ikan), dan sebagainya. Dalam berburu ba’bui (babi hutan), masyarakat adat memiliki cara berburu Ngeduk (menirukan suara monyet) dan Mabang Satung (menunggu, mengintai, dan menghadang rombongan ketika ingin menyeberang sungai). Ketika berburu rusa, masyrakat adat menggunakan cara Mabang Sungan yaitu menunggu dengan cara mengintai rusa di sumber air asin.

Kekayaan Budaya masyarakat hulu bahau sangat beragam yaitu dalam bentuk tarian, nyanyian, kerajinan tangan, ukiran dan sebagainya. Tarian yang populer misalnya Tari Kancet Papatai atau tari perang, Tari Kencat Ledo atau Tari gong, Tari kancet lasan, Tari Leleng, tari Hudoq Kita’. Produk kerajinan tangan seperti Mandau (Pedang), anting gelang, Kalung manik-manik, Saung (Topi), taa (pakaian wanita bermanik), besunung (pakaian laki-laki dari kulit domba), belanyat (tas dari rotan dan bambu), dan lain-lain. Kearifan budaya masyarakat adat terhadap alam sekitar tercermin dari seluruh sisi kehidupan dan tradisi mereka yang mingilhami simbol-simbol, lukisan, ukiran, maupun pahatan yang menghiasi peralatan budaya berupa simbol burung enggang, naga, harimau, pepohonan, manusia, dan lain sebagainya.

Masyarakat adat Hulu Bahau yang dikaruniai alam mempesona dengan padang rumputnya dan hewan-hewan eksotis seperti banteng serta hasil hutan yang melimpah dan tidak anti terhadap program pembangunan dan modernisasi, namun mereka tetap menjaga kearifan budaya tradisional dengan menjaga kelestarian alam karena mereka meyakini alam akan bersikap ramah jika manusia juga memperlakukan alam secara ramah dan penuh kearifan.

Bagikan post ini: